Layaknya seorang yang telah melewati pertandingan berat, pascaramadhan, umat muslim merayakan kemenangan dengan dipenuhi kegembiraan di idulfitri. Kemenangan itu dirayakan karena telah menjadi suci setelah berpuasa, menunaikan zakat fitrah, dan melaksanakan rangkaian ibadah lain pada Ramadhan. Hal itu terulang setiap tahun dan tak ada seorangpun yang dapat memastikan apakah tahun depan akan kembali merayakan kemenangan.
Kegembiraan menyambut hari kemenangan itu dipresentasi dengan cara berbeda. Pada masa lalu sebelum tahun 2000-an, menyambut Idulfitri dilakukan dengan membuat lampu dari bamboo yang diletakkan di pinggir jalan depan rumah. Sebatang bambu dipotong dan dibuat lobang beberapa buah dan diletakkan sumbu yang dimasukkan pada kaleng. Bambu itu diletakan vertical sehingga setiap bambu dapat memiliki sampai empat sumbu yang menyala. Membuat lampu itu tidak hanya dilakukan oleh orang tua, anak-anakpun dengan gembira mencari bambu dan membuat obor dihalaman rumah masing-masing. Bahkan, ada yang membuat obor kemudian ditutup dengan bekas tempat sabun cuci krem (sabun culit) yang dilobangi atasnya, sehingga cahaya obor berwarna-warni. Orang-orang yang mau praktis dan agak pemalas meletakkan lampu atau lilin di teras rumah dan ditutup ember berwarna biru atau meraj yang telah pecah. Budaya itu kemudian perlahan hilang seiring dengan hadirnya nyala lampu PLN. Nyala obor itu digantikan dengan nyala lampu warna warni di halaman rumah. Kebiasaan itu tidak bertahan dan perlahan hilang. Di sebuah kampung, kebiasaan membuat obor itu ingin dihidupkan kembali oleh kepala desa. Dia pun membuat obor dan diletakkan di tepi jalan sepanjang jalan desa dan dia menyalakan tiap malam. Upaya itu tidak bertahan karena masyarakat merasa itu tidak lagi menjadi bagian dari presentasi kegembiraan menyambut idulfitri.
Selain itu, masyarakat juga membuat lampu yang ditutup dengan berbagai bentuk beragam sehingga dimalam hari tampak berwarna-warni. Lampu berwarna warni itu sering disebut tanglong. Pembuatan tanglong relatif lebih rumit daripada lampu biasa sehingga tidak semua rumah membuatnya. Kini, rumah-rumah di kampung sudah sangat jarang membuatnya. Pemerintah pun melaksanakan festival agar komunitas membuatnya. Bahkan, beberapa komunitas yang tidak membuat dengan kreativitas mereka tetapi cukup hanya dengan membeli dari pembuat tanglong.
Di masa itu, kegembiraan menyambut idulfitri juga dipresentasikan dengan membuat meriam bambu (laduman). Laduman ada dua jenis: laduman dengan minyak tanah dan dengan karbit. Laduman minyak tanah dan laduman karbit dapat dibuat dari bambu berdiameter besar, umumnya bambu jenis haur. Untuk mencari haur yang diyakini bagus, tidak jarang para remaja, bahkan orang tua, beramai-ramai harus ke hutan sebelum Ramadhan. Haur itu diangkut dengan cara dipanggul atau dihanyutkan di sungai. Haur itu dipotong sepanjang sekitar dua meter dan dibuat lobang kecil untuk menyulut ledakan. Agar laduman bersuara keras, jarak lobang kecil dengan ruas haur harus berjarak setengah dari diameter haur. Entah dari rumus fisika itu berasal. Memainkan laduman ini relatif harus sabar karena harus dipanaskan dengan cara menyulut api di lobang kecil sambil ditiup. Ketika minyak tanah sudah panas, baru disulut dan ditiup dengan hitungan tertentu dan ganjil. Tidak jelas juga dari aturan fisika mana harus ganjil. Ketika meniup api dilobang itu, api bisa menyala dan menyambar wajah dan berakibat alis atau bulu mata hangus. Kesalahan pemilihan ukuran haur dan lobang kcil tempat menyulut bisa menyebabkan suara laduman tidak nyaring (buntat). Hal itu bisa menyebabkan kekalahan dari kampung atau kelompok lain. Saya ingat dulu, karena suara yang kurang nyaring kami merasa kalah dari anak-anak dari kampung seberang sungai. Akan tetapi, kami tidak hilang akal. Pada malam hari, kami menyeberangi sungai Amandit dengan jukung. Kami perlahan naik dan mencari laduman milik “musuh”. Laduman itupun kami angkut ke jukung dan kami bawa. Keesokan harinya, terdengar suara laduman dari seberang sungai yang tidak begitu keras, kami membalas dengan laduman curian. Tak berapa lama, kawan-kawan lari, setelah melihat ada Pak Polisi Bono. Laduman dibuangnya ke sungai. Untungnya kami tidak tertangkap. Kalau kami ditangkap, dia menyuruh mengangkut dibahu laduman yang panas ke kantor polisi yang berjarak hampir satu kilo metet.
Tidak ada informasi yang jelas sejak kapan laduman itu dilarang pemerintah. Petasan dan lainnya sebenarnya sudah dilarang dibunyikan dijalan tanpa izin sejak 1915. Akan tetapi, ada sebuah surat Komando Militer tahun 1954, di Medan membunyikan meriam bambu diperbolehkan dengan mengikuti jadwal tertentu. Sangat besar kemungkinan, meriam bambu diperbolehkan sebelum tahun 80-an.
Laduman yang lebih berat adalah laduman karbit. Laduman ini dibuat dari pipa besi besar, pohon kelapa, atau pohon aren. Tidak jarang dirancang pertempuran dengan kampung seberang. Konon, saking kerasnya bunyi ledakan bisa menyebabkan kaca rumah pecah. Pada saat kegiatan itu mulai dilarang, banyak laduman berukuran besar dibuang ke Sungai Amandit dan laduman dari pipa besi ada yang dibawa ke kantor polisi. Beberapa tahun yang lalu, pipa itu dijadikan tempat duduk disamping kantor polisi. Kini laduman minyak tanah dan karbit yang tidak praktis itu diganti dengan petasan dan kembang api, meskipun lebih mahal. Sejak tahun 2000-an, sudah sangat jarang, anak-anak memainkan laduman menjelang idulfitri. Penggunaan petasan untuk kemeriahan Ramadhan dan Idulfitri sudah ada sejak tahun 1862 di berita surat kabar. Petasan atau kembang api bersumber dari tradisi Tionghoa ketika mereka mengusir ruh jahat.
Bagi ibu-ibu merayakan kemenangan Idulfitri adalah membuat kue apam. Keluarga yang datang dari jauh membantu membuat apam. Masa itu tidak dikenal bahan tambahan untuk adonan sehingga membuat kue apam sangat rumit karena harus didiamkan agar mengembang bila dimasak. Jika gagal, apam tidak mengembang alias bantat. Membuat apam di Idulfitri perlahan hilang karena digantikan oleh kue-kue yang bisa dibeli. Ibu-ibu tinggal membeli dan tidak perlu lagi membaut adonan apam.
Ketika perayaan kemenangan : lampu dari bambu, laduman, atau apam, mulai hilang diganti dengan perayaan yang serba membeli, value dari kegembiraan perayaan kemenangan itu juga hilang. Tidak ada lagi, anak-anak yang bekerja sama mencari dan mengangkut bambu dari hutan dipinggir kampung, Tidak ada kerja sama memotong bambu. Bergantian memainkan laduman juga hilang. Ibu-ibu pun tidak ada lagi kerja sama membuat adonan apam. Kerjasama dalam merayakan kemenangan itulah yang justru mengikat masyarakt sebagai sebuah bangsa. Semua perlahan hilang diganti dengan gaya hidup yang menawarkan kemudahan. Anak-anak tinggal membeli dan menyalakan petasan. Ibu-ibu cukup dengan menyediakan uang, kue pun tersedia. Pada satu sisi, merayakan Idulfitri dengan serba membeli sangat memudahkan, tetapi disisi lain kita sedikit demi sedikit kehilangan kebersamaan yang menjadi pengikat kita sebagai sebagai sebuah bangsa. Met Idulfitri kawan!