Home / Artikel / Benefit Pendidikan

Benefit Pendidikan

Pendidikan dalam perspektif ekonomi dipahami sebagai sebuah proses dari membangun human capital. Publikasi lain menyebutkan bahwa pendidikan merupakan sebuah investasi in people. Investasi tersebut terutama sangat ditentukan oleh benefit yang diterima oleh individu dan masyarakat (John & Edgar L. Morphet, 1975: 95)
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) itu telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru menemukan momentum penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investment in human capital” dihadapan The American Economic Association. Pidato itu merupakan peletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi.
Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja.

Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini.Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investment) dan menjadi “leading sektor” atau salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.
Pada tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Gary Besker (1964, 1975,1993) mengatakan bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya.
Kritik Becker ini justru membuka perspektif dari keyakinan filosofis bahwa pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial. Sosial budaya yang berorientasi pada dimensi kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi.Beberapa penelitian neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya. Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ganda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.
Benefit Pendidikan Tinggi Banyak teori yang menjelaskan benefit pendidikan. Dalam teori ekonomi, terminologi public economic benefits diartikan sebagai keuntungan ekonomis yang memberi manfaat bagi masyarakat luas setelah seseorang berhasil menamatkan jenjang pendidikan tinggi. Alhumami (2004) yang mengutip Jamei Merisotis dalam Who Benefits from Higher Education? (1988), membuat lima kategori public economic benefits. (1) peningkatan pendapatan pajak. (2) peningkatan produktivitas. Tesis umum yang berlaku adalah: semakin tinggi level pendidikan yang dicapai, kian luas pula pengetahuan dan keterampilan teknis yang didapat. (3) peningkatan konsumsi. Berbagai studi menunjukkan, peningkatan konsumsi itu paralel dengan level pendidikan. (4) peningkatan adaptabilitas tenaga kerja. Persaingan ekonomi yang sangat ketat pada level global menuntut tenaga kerja bisa cepat beradaptasi dengan perubahan. (5) penurunan ketergantungan pada bantuan finansial pemerintah. Para lulusan perguruan tinggi cenderung kurang memerlukan program bantuan sosial yang diberikan pemerintah. Sebab, secara ekonomis mereka sudah berkecukupan dan mampu memenuhi sendiri berbagai kebutuhan dasar tersebut.Sementara terminologi private economic benefits diartikan sebagai keuntungan ekonomis yang memberi manfaat hanya bagi individu bersangkutan setelah ia berhasil menamatkan jenjang pendidikan tinggi. Ada lima kategori private economic benefits. (1)peningkatan gaji dan penghasilan. Para lulusan perguruan tinggi yang berbekal pengetahuan dan keterampilan dipastikan bisa memperoleh gaji dan panghasilan tinggi pula menurut keahlian yang dimiliki. (2) pilihan pekerjaan yang luas. (3) tabungan (savings) relatif lebih besar. Dengan pekerjaan yang baik serta gaji dan penghasilan besar, sangat logis bila para sarjana mempunyai tabungan yang besar pula.(4)jenis pekerjaan dan tempat bekerja yang baik. Bagi lulusan perguruan tinggi relatif mudah mendapatkan pekerjaan yang baik dan tempat bekerja yang comfortable. (5) mobilitas individual. Para lulusan perguruan tinggi lebih mampu bertukar jenis pekerjaan. Dengan bekal keahlian yang memadai dan kompetensi yang mumpuni, para sarjana lebih mudah memperoleh pekerjaan baru atau berpindah profesi bahkan untuk bidang keahlian yang berlainan sekalipun.
Penelitian lain yang lebih mutakhir dilakukan Baum dan Payea (2005). Dalam laporan riset bertajuk The Benefits of Higher Education for Individuals and Society dikemukakan data-data tentang benefit beragam tingkat pendidikan. Penelitian itu menggambarkan variasi perbedaan penghasilan, gaya hidup, dan prilaku dalam hubungannya dengan perbedaan level pendidikan. Tulisan berikut akan mengungkapkan beberapa hal dari penelitian tersebut yang dapat dijadikan argumen tentang benefit pendidikan tinggi.1. Private Benefit
Terkait dengan private benefit pendidikan tinggi, temuan penting dari riset yang dilakukan di Amerika Serikat itu adalah
a. Ada korelasi antara level pendidikan yang lebih tinggi dengan penghasilan yang lebih tinggi pada semua ras, etnik dan lelaki/perempuan.
b. Perbedaan penghasilan antara lulusan SMA dan lulusan perguruan tinggi (PT) meningkat membutuhkan waktu secara signifikan. Penghasilan rata-rata lulusan PT adalah cukup tinggi untuk mengganti biaya pendidikan dan earning forgone selama menempuh pendidikan di PT.c. Ada Benefit yang terukur dari pengalaman di PT (pernah kuliah) ketika dibandingkan dengan yang tidak pernah kuliah, tetapi keuntungan menyelesaikan tingkat bachelor’s atau lebih tinggi sangat signifikan.Harus diakui, pada tahun-tahun pertama lulusan SMA (HS Graduate) yang langsung bekerja akan memperoleh earning lebih banyak dari seseorang yang melanjutkan pendidikan ke PT. Akan tetapi, pada kisaran usia 34 sampai dengan 35, beberapa tahun setelah menyelesaikan pendidikan di PT (B.A.), dia telah bisa mengganti biaya kuliah selama 4 tahun di PT, dengan asumsi dia bekerja pada usia 22 tahun.  
Setelah dikurangi dikurangi dengan biaya pendidikan di PT, pada usia 34 atau 35 tahun penghasilan lulusan PT akan lebih banyak dari pada lulusan SMA yang telah bekerja full time pada usia 18 tahun.
2. Social Benefit
Baum dan Payea (2005) menyebutkan bahwa sosial benefit pendidikan tinggi mencakup
a. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi berhubungan dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang lebih rendah. Terlebih lagi, tulis Baum dan Payea, kontribusi yang lebih tinggi dalam pembayaran pajak daripada tingkat pendidikan yang lebih rendah. Masyarakat yang berpendidikan tinggi kurang tergantung kepada program sosial sehingga mengurangi biaya publik yang dikeluarkan pemerintah untuk program sosial.
b. Lulusan perguruan tinggi (PT) lebih rendah tingkat merokoknya, lebih memperhatikan kesehatan pribadi, dan lebih rendah tingkat kriminal (dipenjara) daripada yang tidak lulus PT
c. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi berhubungan dengan partisipasi kewarnegaraan yang lebih tinggi: kerja sukarelawan, partisipasi dalam Pemilu, dan donor darahPenelitian tersebut juga memberikan perbandingan antara beragam level pendidikan dikaitkan dengan banyak hal. Salah satunya adalah tingkat pendidikan dan pengangguran. Pada semua ras/etnis di Amerika Serikat tingkat pengangguran berada posisi rendah untuk tingkat pendidikan bachelors atau lebih tinggi. Pengangguran dalam penelitian ini dikelompokkan sebagai indikator social benefit berbeda dengan penelitian Goan dan Allisa (2007 yang mengelompokkan di indikator private benefit. Bekerja atau tidak punya merupakan persoalan penghasilan pribadi, tetapi bagaimanapun juga tingkat pengangguran yang tinggi dapat mempengaruhi kondisi sosial masyarakat. Rendahnya tingkat pengangguran merupakan presentasi dari negara yang berhasil.

Penelitian yang dipublikasikan pertama kali pada 2004 dan direvisi tahun 2005 tersebut juga menunjukkan bahwa kemiskinan juga punya hubungan dengan tingkat pendidikan. Tingkat kemiskinan single mother dengan satu anak dibawah 18 tahun sangat tinggi mencapai 49% pada single mother yang tidak menamatkan high school. Sebaliknya, hanya 10% dari single mother yang menamatkan bachelors degree pada level miskin. Secara umum, hanya 2% keluarga (ayah) yang berpendidikan bachelors degree berada dibawah garis kemiskinan. Sebuah keluarga dikatakan miskin, menurut riset ini (tahun 2004), jika penghasilan dibawah $19.157 pertahun untuk keluarga yang memiliki dua orang anak dibawah 18 tahun.
Hal lain yang menarik terkait dengan private benefit PT adalah tentang merokok. Level pendidikan menurut penelitian ini punya hubungan dengan smoking rate. Kelompok yang berpendidikan dibawah SMA relatif lebih banyak merokok daripada kelompok yang menamatkan bachelors degree atau lebih tinggi.

Tingkat merokok di Amerika Serikat meningkat pada 1940an, 45% pada tahun 1950an, dan mulai menurun pada akhir 1960an. Lulusan PT tidak berbeda dalam hal merokok dengan yang lain sebelum kejelasan konsensus medis tentang bahaya merokok. Pada tahun 2000, ketika hanya seperempat populasi orang dewasa dilaporkan merokok, dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa hanya 14% lulusan PT yang merokok dan 28% dari lulusan SMA merokok.
Gambaran tersebut diatas sejalan dengan yang disebutkan Goan dan Alissa (2006). Setelah menganalisis data-data terkait, mereka menyimpulkan bahwa pendidikan tinggi menyajikan benefit yang besar: private dan juga social benefit. Hal itu ditunjukkan dengan indikator gaji yang diterima lulusan bachelor’s lebih banyak dari pada lulusan SMA. Mereka juga memilikan kesehatan yang lebih baik, lebih keikutsertaan dalam Pemilu, dan lebih tinggi tingkat peran sebagai sukarelawan daripada lulusan SMA.
Benefit pendidikan tinggi yang juga dirasakan oleh masyarakat luas (social benefit) dapat dijadikan argumen untuk meningkatkan peran pemerintah dalam pendidikan tinggi. Selama ini ada kecenderungan menurunnya alokasi anggaran untuk pendidikan tinggi dikaitkan dengan benefit pendidikan tinggi yang lebih dominan pada private benefit. (Georgianna & Robert T. Jones : 2007) Kecenderungan mengurangi tanggung jawab pendidikan di tingkat PT dalam sudut pandang ekonomi pendidikan tidak sepenuhnya benar. Ada banyak persoalan yang harus diperhatikan terkait dengan investasi pendidikan. Persoalan itu pula yang menjadi pertimbangan masyarakat untuk membelanjakan uangnya untuk investasi pendidikan. Becker, yang dikutip Georgianna dan Jones (2007) menyebutkan pertimbangan tersebut: Pertama, kapan biaya yang dikeluarkan tersebut akan bisa ditutupi setelah lulus? Bagaimana tingkat inflasi nanti? Apakah tingkat penghasilan akan menjadi tuntutan? Apakah akan dibayar lebih sedikit atau lebih besar? Kedua, keluarga harus menyiapkan uang sendiri untuk pendidikan. Bank tidak akan memberikan bantuan karena tidak ada ketentuan tentang return dari human capital.
Riset yang diungkap diatas dan argumen yang dikemukakan Becker telah menunjukan bahwa benefit pendidikan tinggi langsung atau tidak langsung punya dampak yang signifikan bagi masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah punya kepentingan dan tanggung jawab dalam menyediakan pendanaan pendidikan ditingkat perguruan tinggi.
Harus diakui bahwa hasil penelitian tersebut tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Meningkatnya earning tidak selalu berhubungan dengan tingkat pendidikan. Hubungan tersebut hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan dan pemerataan. Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti India (mungkin juga: Indonesia) sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin, ada di sektor ini.
Studi itu memberikan gambaran bahwa petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar. Selain itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya tidak menguntung bagi pertanian, produktivitas lebih ditentukan oleh pengalaman. Oleh karena itu, petani yang berada di kondisi semacam itu, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah.
Terlepas dari itu, tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan memungkinkan seseorang melakukan mobilitas sosial. Karena pendidikan, petani dan orang miskin bisa mendapat kehidupan yang lebih baik dibidang lain pekerjaan lain. Akan tetapi, mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan karena persoalan kultur, sosial, dan sistem. Di India misalnya, kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial. Contoh lain, Indonesia. Korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.

Penutup
Benefit pendidikan tinggi sangat signifikan pada semua jenis. Private dan social benefit yang dirasakan lulusan perguruan lebih baik daripada yang diterima lulusa tingkat pendidikan di bawahnya. Hal itu tergambar dari, tingkat penghasilan, tingkat kemiskinan, tingkat penggangguran, kesehatan, dan partisipasi dalam pemilu dan donor darah.
Itu menunjukkan bahwa benefit pendidikan tinggi juga dirasakan oleh semua orang tidak hanya pribadi yang bersangkutan. Hal itu dapat dijadikan argumen bahwa perguruan tinggi dapat sepenuhnya menggunakan uang publik (negara) dengan jumlah yang proporsional.
Akan tetapi, benefit pendidikan juga dipengaruhi oleh jenis pekerjaan dan keadaan sosial budaya, dan geografis. Petani di daerah tidak yang tidak subur ditentukan oleh pengalaman, bukan pendidikan. Contoh lain, sistem kasta di India dan korupsi di banyak negara berkembang bisa menjadi faktor yang tidak mendukung benefit yang signifikan dari pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Alhumami, Amich, (2004, 30,08). Manfaat Ekonomi Pendidikan Tinggi
– Siapa yang Paling Beruntung?, Kompas (Online) tersedia http://www2. kompas. com/ kompas-cetak/ 0408/30 /opini/ 1235213. htm, (19 April 2009)

Baum, Sandy dan Kathleen Payea, (2005). The Benefits of Higher Education for Individuals and Society, Reveised edition, College Board (online), tersedia http://www.collegeboard.com/prod_download/press/cost04/educationpays2004.pdf
Cucu Lisnawati, (tth). Aspek Ekonomi dalam Pendidikan, EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya Tersedia, http://educare.e-fkipunla.net index2.php?option =com_content&do_ pdf=1&id=9 (19 April 2009)

Georgianna, Daniel dan Robert T. Jones, (2007). “Privatizing the Benefits from Higher Education an Its Effect on Acces”, Jurnal American Acedemic, Vol 3 Number 1/2007, (Online), tersedia http://test.aft/org/push-reports/american_academic/issues/januario7/georgianna_jones.pdf

Goan, Sarah K dan Cunningham,Alisa F. (2006). “The Investment Payoff: A 50 State Analysis of the Public and Private Benefits of Higher Education”, Jurnal American Academic, Volume 2 Number 1, March 2006, New Jersey AV Washington DC : American Federation of Teacher (Online), tersedia http:// www. aft.org/pub-reports/ american_academic/ issues/march06/goan_cunningham .pdf

Johns, L. dan Edgar L. Morphet, (1975) The Economics dan Financing of Education System Approach”, 3rd edition, Prentince Hall, Inc. Englewood Cliffs : New Jersey

Uhar Suharsaputra (tth). Ekonomi Pendidikan, (online) tersedia http://uharsputra.wordpress.com/pendidikan/ekonomi-pendidikan/, (19 April 2009)

About Ahmad Juhaidi

Check Also

Politik Ngangal

oleh H. Sofyan Noor AA “Politik itu ngangal” (Ucapan Drs.H.Bahdar Johan kepada H.Syamsul Mu’ari f, …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

UA-82099772-1