Hoaks menjadi istilah yang dikenal luas dan telah dianggap sebagai musuh bersama. Istilah itu sudah menjadi kata yang telah diserap dan termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Seperti hal lain yang negatif, Narkoba atau merokok, sudah ada juga kampanye anti hoaks. Dengan kata lain, hoaks sudah menjadi ancaman bagi ketentraman kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Jika Narkoba dan rokok mengamcam kesehatan, hoaks dapat mengancam ikatan masyarakat sebagai sebuah bangsa yang berujung kepada perpecahan dan dampak lain yang lebih dahsyat.
Persoalan kebohongan (hoaks) ini, disadari atau tidak, telah ada sejak awal manusia diciptakan manusia. Bukankah Iblis berbohong kepada Adam AS bahwa jika memakan buah khuldi akan kekal di dalam surga. Kebohongan yang bersumber dari iblis itulah yang menjadi sebab Adam AS dan Hawa diturunkan ke bumi dan menjadi nenek moyang generasi milineal ini. Itu menggambarkan bahwa kebohongan selalu menimbulkan masalah bagi yang percaya.
Perbedaan paling mendasar dari kebohongan tempoe doeloe dengan kebohongan masa kini adalah kecepatan penyebarannya. Di masa lalu, pertukaran informasi sangat lambat dan harus bertemu langsung. Di desa atau di kota, transaksi informasi terjadi di pasar atau warung. Sehingga sering informasi itu selalu diawali dengan kalimat, “aku samalam tatamu acil di pasar, ujar sidin, si utuh babini pulang” atau “ujar buhan di warung samalam, bini utuh halus, bagandak”. Bertemu di pasar berarti sebarannya lebih luas daripada informasi yang didapat di warung. Pada saat itulah produksi dan penyebaran berita di mulai. Penyebaran kabar yang entah benar atau bohong itu pun berlanjut ketika makan dan minum di warung. Akhirnya , kabar itu tersebut dalam tempoe yang lama. Di era teknologi, kabar itu sangat cepat, dengan sekali pencet kabar langsung tersebar ke segala penjuru. Kebohongan pun cepat dikonsumsi dan didistribusi publik, apalagi ada kecenderungan, manusia merasa bangga jika dapat menyebar informasi yang dianggapnya baru.
Perkara hoaks menjadi perhatian pemerintah tidak terlepas dari kebohongan yang dianggap dapat mengganggu stabilitas pembangunan dan merugikan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah turun tangan dengan berbagai cara: kampanye anti hoaks, menuntut penyebar hoaks, serta pengerahan berbagai sumber daya untuk memerangi hoaks. Kalau sekedar kebohongan “utuh babini pulang” atau “bini utuh halus bagandak”, pemerintah tidak akan mengerahkan sumber daya memeranginya. Biar “bini utuh” dan “utuh halus” memutuskan tentang berita itu.
Digital Citezenship
Jalan paling tepat memerangi hoaks adalah melalui edukasi sejak dini. Digital citizenship merupakan hal penting ditanamkan melalui sekolah dasar. Jika selama ini kita mengenal pendidikan kewarnegaraan, di era digital, pendidikan kewarnegaraan digital sangat penting. Ribble (2011) mengungkapkan sembilan elemen penting dalam kewarnegaraan digital.
Pertama, digital acces. Pemerintah atau pengelola pendidikan harus memandang bahwa kepemilikan perangkat digital tidak merata. Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa membuat kebijakan yang mengabaikan sebagian masyarakat yang tidak memiliki akses atau terampil menggunakan perangkat digital. Misalnya, pemerintah mewajibkan semua sekolah untuk menggunakan online learning, padahal masih banyak siswa yang tidak memiliki perangkat dan akses internet atau berkebutuhan khusus. Contoh lain misalnya, sekolah mengeluarkan kebijakan bahwa surat menyurat dengan paperless, padahal tidak semua siswa memiliki kemampuan mengakses internet. Dalam kondisi demikian, pemerintah memiliki kewajiban menyediakan akses yang merata terhadap perangkat dan koneksi digital.
Kedua, digital commerce. Jual beli secara online telah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan sehari. Dalam konteks itu, masyarakat (baca: siswa) harus memiliki pengetahuan tentang bagaimana melindungi identitas pribadi ketika membeli barang secara online dan mengetahui situs jual beli yang aman dengan harga yang baik. Mengapa itu penting? Masyarakat cenderung sangat berhati-hati ketika membeli secara langsung di pasar, menawar harga sekuat tenaga, mencek di beberapa toko, kemudia membeli. Akan tetapi, ketika membeli secara online, sangat cepat tergiur dan lupa menjaga keamanan identitas pribadi, dan tidak mencek kredibilitas penjual online tersebut.
Ketiga, digital communication. Perangkat komunikasi, terutama smartphone sering disalahgunakan atau digunakan tidak tepat. Kita sering memperhatikan siswa atau mahasiswa yang mengirim text pada saat belajar di kelas, berlaku curang ketika ujian dengan menggunakan smartphone. Oleh karena itulah, sekolah dan siswa harus memiliki komitmen tentang penggunaan smartphone yang tidak mengganggu proses belajar. Guru juga harus menjelaskan tentang penggunaan dan etika berkomunikasi melalui perangkat komunikasi digital (smartphone). Smartphone harus menjadi bagian dalam proses pembelajaran, berbagi ide, menulis, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan pembelajaran. Pihak sekolah juga dapat menggunakannya sebagai media menyampai informasi kepada orang tua.
Keempat, digital literacy. Literasi digital adalah proses belajar mengajar tentang teknologi dan menggunakan teknologi. Digital literasi ini berhubungan dengan dasar online, mencek kredibilitas sumber, dan menggunakan fasilitas belajar online. Dengan digital literasi ini, informasi-informasi bohong akan dapat dikenali.
Kelima, etika digital. Netika sangat penting menjadi perhatian karena sering terjadi orang-orang yang tampak santun ketika bertemu berubah menjadi suka memaki dan menggunakan kata-kata kasar ketika berinteraksi di dunia digital atau di social media.
Keenam, digital law. Siswa harus mendapat pengetahuan tentang hal-hal yang dapat dikategorikan melanggar hukum terkait akses internet. Hal yang kerap ditemui adalah pelanggaran hak cipta dan plagiasi karya tulis ilmiah. Bukan hal yang aneh lagi pelanggaran hukum ketika seseorang mengunduh musik atau film yang memiliki hak cipta.
Ketujuh, digital right and responsibility. Semua orang berhak untuk mengakses beragam materi online yang tersedia bebas tetapi harus bertanggung jawab ketika menggunakannya. Siswa harus mendapat pembelajaran tentang bagaimana bertindak jujur dan bertanggung jawab ketika mengutip sesuatu yang dia ambil secara online. Mensitasi karya orang lain adalah bentuk kejujuran dan pertanggungjawaban tersebut. Selain itu, siswa juga berhak untuk melindungi karya nya yang diunggah secara online.
Kedelapan, digital health and wellness. Pihak sekolah, terutama guru harus mengkampanyekan bahaya penggunaan perangkat digital secara berlebihan bagi kesehatan fisik dan mental.
Kesembilan, digital security. Keamanan siswa sangat penting diperhatikan oleh pihak sekolah. Siswa harus disadarkan tentang bahaya yang dapat mengancam mereka ketika berinteraksi dengan orang lain melalui media social. Kerahasiaan identitas pribadi harus dijaga ketika berkomunikasi dengan orang yang tidak dikenal langsung. Hal seperti itulah, yang dapat menyebabkan kasus-kasus penculikan dan penipuan. Di sisi lain, keamanan perangkat misalnya password, perlu pula diajarkan kepada siswa.
Jika sembilan hal tersebut telah menjadi bagian dari proses pendidikan di semua jenjang pendidikan, hoaks akan dapat diberantas dengan sendirinya.