Home / Artikel / Banjarmasin, Layakkah Dirindukan?

Banjarmasin, Layakkah Dirindukan?

Hari ini, Banjarmasin telah berusia 491. Jika merujuk literatur Hikayat Banjar Banjarmasin merupakan kota yang dibangun berdasarkan semangat persaudaraan. Persaudaraan mengalahkan nafsu atas tahta dan kekuasaan. Hikayat Bandjar yang ditulis dengan bahasa Banjar itu mengisahkan bagaimana sang paman yang berperang dengan kemenakan tidak kuasa membunuh kemenakan sendiri meskipun itu akan menjadikannya sebagai raja di tanah Banjar. Pangeran Samudera yang berseteru dengan Pamannya, Pangeran Tumanggung berhadapan di atas Perahu Talangkasan milik mereka masing-masing. Hikajat Bandjar (h. 436) menggambarkan episode terakhir paman melawan kemenakan itu dengan dramatis

“Maka kata Pangeran Samudera itu “mara hua, andika tumbak kaula atawa andika padang kaula, karana dahulu sampai kakini andika masih handak mambunuh kaula. Sakian andika tuluskan karsa andika itu, tatapi kaula tiada handak durhaka pada andika karana kaula tiada lupa akan andika itu akan ganti ibu-bapa kaula. Sakarang ini mara Andika, bunuh kaula”. Maka Pangeran Tumanggung maras hatinya, sarta ia manangis. Padang dangan parisainya dilapasnya, maka ia lumpat pada parahu Pangeran Samudera itu sarta mamamaluk mantjium pada Pangeran Samudra itu. Pangeran Samudra itu berudjud pada Pangeran Tumenggung itu. ….. Sudah itu maka kata Pangeran Tumanggung, “mara kita ka rumahku, Aku handak mambarikan karadjaan itu”.

Peristiwa itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahir Kota Banjarmasin. Meskipun, pada dasarnya itu adalah awal berdirinya Kerajaan Banjar yang meliputi seluruh Kalimantan Selatan bahkan ke wilayah lain di Kalimantan, bukan terbentuknya Banjarmasin sebagai kota.

Hikayat Banjar tersebut menceritakan bagaimana sang kemenakan tidak kuasa terus memerangi pamannya sendiri dan rela dibunuh oleh paman pada saat duel satu lawan satu di atas Parahu, sebagaimana bangsa Romawi berperang di atas kuda atau di kereta perang. Hal itu menjadi pertanda bahwa sesungguhnya masyarakat banjar adalah masyarakat yang menjunjung tinggi persaudaraan diatas kekuasaan. Tahta dan harta kalah ketika berhadapan dengan persaudaraan. Bahkan, dikenal istilah “hayam maharam gin disumbalih” untuk menjamu tamu atau keluarga.

Pertanyaannya masihkah persaudaraan dijunjung tinggi di banua ini ataukah itu perlahan sudah mulai hilang digusur kepentingan ekonomi. Tiba-tiba saya kuatir makna persaudaraan itu kemudian dibatasi dengan persaudaraan sebatas keluarga, bukan persaudaraan dalam makna persaudaraan sebagai sebuah bangsa, saudara seiman, saudara sekepentingan.

Jika dibatasi seperti itu, tidak mustahil yang terjadi adalah banua ini menjadi kota yang tidak ramah lagi. Menjadi tempat bagi sebuah komunitas yang merasa tidak bersalah mengapling jalan untuk menggelar dagangan, tanpa peduli orang lain yang terganggu, “lain kaluarga jua”. Menjadi sebuah kota yang dijadikan alat untuk memperkaya keluarga, yang ada “kancur jariangau”, sementara masyarakat tidak mendapat apa-apa, bahkan dirugikan. Perhatikanlah perilaku di jalan raya, hamper semua orang menunjukkan keberaniannya, apabila mereka merasa dihalangi, pandangan marah pun bahkan umpatpun tidak ragu-ragu muncul. Melihat orang menyeberang jalan, bukan memperlambat laju kendaraan, justru lebih mempercepat laju kendaraan agar tidak dihalangi oleh orang menyeberang jalan tersebut. Padahal dimanapun dimuka bumi ini, penyeberang jalan harus didahulukan. Seperti itukah urang Banjar?

Hal semacam itu jika tidak diwaspadai akan menjadikan kota ini sudah berubah seperti kota-kota lain. Pada beberapa tahun yang akan datang, kota ini akan menjadi sebuah tempat yang didiami oleh sekelompok orang yang tidak peduli pada orang lain. Ruang terbuka hijau, taman, siring, dan tempat hiburan bagi warga bisa dibangun dengan mudah, tetapi menciptakan sebuah komunitas yang menyenangkan dan dirindukan anggota komunitas merupakan perkara yang sulit bukan buatan.

Pendidikan (baca : madrasah dan sekolah) memikul tanggung jawab itu. Lembaga pendidikan dituntut berperan menciptakan komunitas yang peduli kepada orang lain dan lingkungan. Kepedulian itu harus ditanamkan sejak dini di lembaga pendidikan dengan serius dan berkesinambungan. Pernahkah sekolah menanamkan secara serius tentang bagaimana prilaku di jalan raya, membuang sampah, memelihara fasilitas umum, menghormati hak publik, dan prilaku lain? Sekedar menyebutkan di kelas bahwa membuang sampah harus pada tempatnya mungkin pernah, tetapi hanya sebatas itu tanpa proses penanaman kesadaran dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, tidak mengherankan taman atau fasilitas publik sangat sulit dipelihara kebersihannya dan sangat cepat mengalami kerusakan. Cobalah perhatikan taman siring misalnya, sangat mudah menemukan botol air mineral atau cangkir bekas jus diletakkan tidak di tempat sampah. Pemerintah kota yang membangun fasilitas publik : taman, ruang terbuka akan lebih sulit lagi memeliharanya tanpa partisipasi publik. Bahkan fasilitas untuk publikpun, tanpa rasa berdosa sedikitpun bisa digunakan untuk pribadi sehingga menyebabkan publik terganggu.

Hal itu juga harus menjadi perhatian para ulama yang terlibat langsung mendidik umat melalui masjid dan tempat ibadah lain. Bagi banyak orang, nasihat mereka akan tertanam lebih dalam dan dipatuhi dibandingkan nasihat pemerintah. Bayangkan jika ulama diceramahnya sesekali menasihati jamaah agar ketika berkendara jangan menggunakan handphone atau jangan menyerobot orang lain dijalan raya, tentu, dampaknya akan sangat besar bagi perbaikan prilaku warga di jalan raya. Nasihat ulama pada umatnya untuk memelihara fasilitas public : membuang sampah pada bak sampah, fasilitas publik jangan digunakan untuk kepentingan pribadi, akan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap fasilitas publik. Tidak sampai itu saja, penegakkan hukum pada akhirnya menjadi hal sangat penting. Membuang sampah, melanggar tata tertib lalu lintas, merusak fasilitas publik, memakai fasilitas publik (misalnya berjualan di jalan milik publik) harus ditindak tegas.

Jika semua itu telah dilakukan, tetapi gejala lunturnya kepedulian kepada sesama dan lingkungan telah menjangkiti semua warga kota ini, satunya-satunya cara untuk mengobatinya adalah meninggalkannya. Selamat Ultah, Banjarmasin Bungas!

 

About Ahmad Juhaidi

Check Also

Politik Ngangal

oleh H. Sofyan Noor AA “Politik itu ngangal” (Ucapan Drs.H.Bahdar Johan kepada H.Syamsul Mu’ari f, …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

UA-82099772-1